Natal
Dibuat oleh : Dian Berdianti
Hai aku Viollina Dermawan, panggil saja aku Vio dan yap, aku adalah
pemain biola.bisa dibilang aku handal memainkan alat musik yang satu. Aku
mewarisi keahlian satu itu dari ayahku, Agus Dermawan. Siapa yang tidak mengenal
beliau? Pemain biola yang paling terkenal, baik hati, tidak sombong, dan beliau
sangatlah berkharisma. Semua orang mengakui itu. Beliau juga suka sekali
membantu orang-orang yang berkekurangan. Aku sangat iri dengan beliau karena
beliau dapat melakukan hal-hal seperti itu sedangkan aku tidak. Daripada harus
bag-bagi tuh uang, lebih baik uangnya ku gunakan untuk beli biola baru atau apa
kek. Tapi papa selalu bisa menyisihkan egonya. Aku bangga terhadap beliau.
Berlainan dengan biola,aku sangat membenci Natal. Kalau ditanya kenapa,
ya karena itu Natal. Aku benci Natal. SANGAT. Itu karena Natal beberapa tahun
yang lalu telah merebut orang yang sangat ku cintai. Orang yang sangat ku
butuhkan untuk bertahan hidup dan dia jugalah orang yang membawaku ke dunia
ini. Dia yang berjuang agar aku ada di dunia ini. Ya, dia adalah ibuku. Orang
yang paling aku cintai.
Dahulu kala, disaat aku masih kecil dan tentunya sebelum mama meninggal
aku sangat menyukai Natal bahkan menyilang hari demi hari hingga hari Natal. Aku
bahkan menunggu detik-detik pergantian hari menuju Natal namun sekarang semua
tinggal kenangan. Mungkin Tuhan mau ngingetin kalau gak boleh terlalu terobsesi
dengan suatu hal. Sekarang aku mengerti kalau terobsesi pada satu hal sampai
sebegitunya gak ada lagi gunanya jadi aku berhenti melakukan hal itu dan 1
lagi. Aku membenci orang yang melakukan hal seperti yang ku lakukan dulu dan
aku membenci orang yang bahagia dengan Natal karena Natal adalah mimpi buruk
untukku. Bagaimana mungkin mereka berbahagia diatas kematian ibuku? Walaupun
tak secara langsung tapi tetap sajakan?
Dan aku mengenal orang itu. orang yang berbahagia dengan adanya natal
dan dia melakukan hal yang ku lakukan dulu. Namanya Riko Hermawan. Dia satu
sekolah denganku, kami bersekolah disalah satu sekolah musik terbesar di
Jakarta. Awalnya,aku tertarik dengan dia karena dia adalah pianist yang dibanggakan di sekolah kami. Dia tampan, pintar, jago
olahraga, ramah, pokoknya perfect.
Tapi sejak tau dia menyukai natal, aku langsung membenci dia detik itu juga.
Jika biasanya kami saling menyapa, kali ini tidak. Aku akan pura-pura
tidak melihat dia. Tapi, entah kenapa dia tetap menyapaku. Tapi aku tidak
menyapanya kembali. Jujur, aku tidak suka seperti itu tapi, aku membenci
orang-orang yang berbahagia di hari kematian ibuku. Itu menyakitkan. SANGAT!
Hingga suatu
hari, lebih tepatnya pada hari Natal….
Hari ini kami masuk sekolah untuk glady bersih untuk acara sekolah
beberapa hari lagi.
“Pagi Vio…” sapa Riko.
Aku hanya berjalan terus tanpa mengindahkan sapaannya. Tapi tidak
seperti biasanya, kali ini dia mengejarku lalu menyamakan langkahnya denganku.
“Hari ini kamu ada acara gak?” tanyanya.
“Ada.” Jawabku singkat.
“Acara apa? Padahal aku pengen ngajak kamu ke konser Yiruma.”ajaknya.
“Ziarah ke makam mama.” Jawabku lagi.
Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Sedangkan aku terus berjalan tanpa
memperdulikannya. Lagi-lagi dia mengejarku. Kali ini dia menarik tanganku dan
membuatku terpaksa menatap matanya yang ternyata berwarna abu-abu bukan hitam. Mata
itu membuatku terpaku dan sadar bahwa aku…. Aku tak pernah membencinya. Aku
tetap mengagumiku tapi keegoisanku membuat rasa itu tertimbun tapi rasaitu tak
pernah hilang.
“Apaan sih kamu!”aku melepaskan genggaman tangannya karena wajahku sudah
terbakar.
Dia berlutut dan meraih tanganku lalu berkata, “Vi, will you be my music?”
Aku menghentakkan tanganku untuk lepas dari genggaman tangannya.
“Kamu apaan sih?! Aku gak mau!” tolakku mentah-mentah.
Dia berdiri dan menatap mataku.
“Sekarang aku ngerti kenapa kamu gak suka Natal. Aku pikir itu cuman issue ternyata kamu benar-benar tidak
suka Natal. Sekarang aku tau alesannya kamu gak suka Natal karena mama kamu
meninggal di hari Natal kan?” jelasnya.
Aku terpaku.
“Vi, kamu beruntung masih punya papa. Kamu harus tau, tepat di hari ini
juga kedua orangtuaku meninggal.”katanya lagi.
Kali ini aku sungguh terkejut.
“Bohong..” ucapku lirih.
“Enggak Vi, aku gak bohong… Makanyaa..” Dia meraih tanganku danl
anjutnya, “Let’s change this day into the
most beautiful day of the year Vi… So
once more, will you be my music Vi?”
Aku mengangguk.
“Thanks Vi.” Katanya sambil
memelukku. “Jangan pernah membenci hari ini lagi ya…” lanjutnya.
Aku mengangguk lagi. Speechless.
Mulai dari hari itu, tanggal 25 Desember di koridor sekolah
disaksikanoleh dinding-dinding bisu, aku kembali jatuh cinta pada Natal karena
Natal membawa kebahagiaan.
No comments:
Post a Comment